>>> Rilis Media oleh FORMASI Disabilitas untuk Hari Disabilitas Internasional 3 Desember 2022 <<<
YOGYAKARTA – MEMPERINGATI HARI DIFABEL / DISABILITAS INTERNASIONAL (HDI) PADA 3 DESEMBER TELAH MENJADI KEBIASAAN DI BERBAGAI BELAHAN DUNIA. “THE INTERNATIONAL DISABILITY DAY” MENJADI MOMENTUM REFLEKTIF MENGENAI BAGAIMANA PENERIMAAN, PENGAKUAN, PENGHORMATAN, PELINDUNGAN, PELINDUNGAN SERTA PEMENUHAN HAK ASASI DIFABEL DARI SEKITAR 15% POPULASI DUNIA INI TELAH DILAKSANAKAN.
Tak Hanya Selebrasi
Momentum HDI seyogyanya tak boleh berhenti menjadi ruang selebrasi atas hal kecil yang telah terjadi. Sebaliknya, yang terpenting adalah untuk terus belajar mengisi setiap ruang kosong dan gap yang masih ada dengan berbagai perbaikan yang masih perlu dilakukan. Karenanya, inklusi difabel yang telah menjadi tantangan dan isu global perlu menjadi perbincangan multidisiplin dan multipihak untuk diselesaikan.
Tema Hari Difabel Internasional tahun ini, merujuk pada laman resmi Perdamaian Bangsa-Bangsa (PBB) adalah “Transformative Solution for Inclusive Development: Innovation for more Accessible and Equitable World”, atau “Solusi Transformatif untuk Pembangunan yang Inklusif: Inovasi untuk Dunia yang lebih Aksesibel dan Adil”. Tema tersebut merepresentasikan situasi saat ini, bahwa di tengah roda pembangunan yang terus melesat maju, ada kelompok-kelompok yang seringkali ditinggalkan dan hanya menjadi penonton kemajuan.
Bagi Forum Masyarakat Pemantau untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (FORMASI Disabilitas), HDI adalah saat terbaik untuk secara jujur dan terbuka melihat bersama-sama kemajuan, sekaligus pekerjaan besar yang sudah dijanjikan namun belum juga terwujud. Pertanyaan besar adalah: “Sudahkah Bhinneka Tunggal Ika terinternalisasi dalam cara kita berbangsa dan bernegara? Sudahkah lingkungan yang aksesibel dan adil serta inklusi difabel telah benar-benar dirasakan?”
Kenyataannya, Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah berumur lebih dari 6 tahun. Menyusul kemudian, dua Peraturan Presiden, tujuh Peraturan Pemerintah serta sejumlah aturan lain pun telah dikeluarkan. Tetapi situasi difabel saat ini belum juga banyak perubahan. Merujuk Catatan Tahunan FORMASI Disabilitas (Catahu Formasi Disabilitas) yang diluncurkan pada bulan Juli 2022, difabel masih belum menikmati hak secara setara di berbagai sektor, utamanya hukum dan akses terhadap keadilan, ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, maupun dalam situasi bencana dan darurat kemanusiaan. Difabel perempuan dan anak, orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK), serta difabel psikososial bahkan masih harus berjuang dalam kerentanan berlapis, terang-terangan terbelenggu oleh stigma dan institusionalisasi, serta tak banyak memiliki ruang dalam struktur kebijakan.
Data Difabel: PR Menahun
Diperlukan data yang akurat untuk sebuah perencanaan solusi yang tepat dan efektif dalam mewujudkan pemenuhan hak difabel. Sayangnya, Hingga saat ini berbagai perencanaan kebijakan dan program inklusi difabel masih hanya didasarkan pada data survey yang hanya menggambarkan estimasi makro. Dalam tataran praktis, data survei terkait difabel tak dapat memberikan informasi akurat untuk mengkalkulasi kebutuhan anggaran, memproyeksikan wilayah-wilayah sasaran, ataupun sentra pelayanan yang perlu diprioritaskan. Data difabel yang akurat dan menjadi rujukan perencanaan masih menjadi PR bertahun-tahun yang tak diketahui kapan akan terselesaikan.
Program Registrasi Sosial Ekonomi (REGSOSEK) yang baru-baru ini dilaksanakan sebagai langkah awal menuju satu data Indonesia pun masih diragukan untuk dapat menjawab kebutuhan data difabel. Pasalnya, berdasarkan pantauan FORMASI Disabilitas, ditemukan fakta bahwa pertanyaan seputar ‘hambatan’ yang merupakan rincian pertanyaan untuk mengidentifikasi difabel justru tidak ditanyakan oleh enumerator BPS. Enumerator yang terlibat banyak yang belum memahami pentingnya pendataan yang berkaitan dengan hambatan yang dialami difabel. Sangat disayangkan jika inisiatif yang baik dengan menghabiskan anggaran yang besar, justru tidak melibatkan pemerintah tingkat desa dan partisipasi masyarakat secara terbuka
Internalisasi Kebijakan, Perspektif dan Nilai Inklusi
Meski berbagai kebijakan telah dilahirkan, hal tersebut tidak akan banyak membawa perubahan jika tidak terinternalisasi di tataran yang paling teknis. Kunjungan FORMASI Disabilitas di sejumlah provinsi menemukan bahwa sejumlah kebijakan disabilitas yang alih-alih dipahami dan dipedomani, bahkan tidak diketahui oleh organisasi perangkat daerah (OPD) teknis di provinsi maupun kabupaten / kota. Terlebih lagi dalam pemahaman mengenai inklusi difabel / disabilitas sebagai tangungjawab lintas sektor masih belum menjadi perspektif yang menyeluruh
Partisipasi difabel dan organisasinya masih hanya menjadi ruang sejuk bagi mereka yang telah berpanas-panasan menaklukkan penolakan demi penolakan, serta menggedor pintu dialog yang cenderung tertutup. Ruang aspirasi dan pelibatan secara bermakna belum menjadi standar yang benar-benar diikuti sebagai praktik dalam perencanaan, implementasi maupun monitoring dan evaluasi pembangunan. Kebijakan dan perspektif serta nilai inklusi yang belum cukup terinternalisasi, serta kurangnya partisipasi difabel yang lebih bermakna akan selalu menjadi halangan besar bagi pengarusutamaan inklusi difabel sebagaimana digariskan dalam Rencana Aksi Penyandang Disabilitas maupun Rencana Aksi Nasional HAM yang seharusnya telah terimplementasi. Untuk itu, seharusnya negara mengimbangi pemajuan struktur kebijakan dengan penguatan kapasitas melalui pelatihan-pelatihan bagi aparatur negara, maupun pengawasan kinerja yang benar-benar memadai.
PRAKTEK PENDIDIKAN INKLUSIF: Mendiskriminasi ragam disabilitas
Komitmen terhadap pembangunan sumber daya manusia yang lebih berkualitas belum dapat dirasakan oleh difabel mental dan intelektual. Banyak sekolah regular beramai-ramai mendeklarasikan diri sebagai sekolah inklusif, namun pada praktiknya penerimaan siswa difabel masih terbatas pada ragam difabel fisik saja. Masih ditemukan adanya penolakan pada difabel intelektual dan mental dengan alasan tidak tersedia guru pendamping khusus. Pada akhirnya Sekolah Luar Biasa (SLB) menjadi pilihan akhir bagi orang tua dan anak difabel untuk menyekolahkan anaknya. Peluang beasiswa bagi anak difabel juga masih terbatas, asesmenyang dilakukan oleh FORMASI Disabilitas di berbagai provinsi mendapati informasi dari Dinas Pendidikan bahwa beasiswa bagi anak difabel belum merata, baik di tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.
Peraturan Pemerintah nomor 13 tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas adalah jaminan bagi setiap anak difabel mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak atas pendidikan yang setara dan berkualitas. Faktanya, Dinas Pendidikan sebagai penyelenggara pendidikan yang ditemui FORMASI di 6 provinsi menyatakan belum membentuk Unit Layanan Disabilitas ( ULD) yang merupakan mandat dari PP tersebut. Belum terbentuknya ULD ini akan berdampak pada tidak tersedianya penyediaan dukungan anggaran dan atau bantuan pendanaan, penyediaan sarana dan prasarana yang terbatas, tidak siapnya penyediaan pendidik dan tenaga kependidikan serta tidak tersedianya kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan spesifik anak difabel sebagai peserta didik. Masih terdapat jurang kesenjangan kualitas sumberdaya manusia yang sangat lebar antara non difabel dan difabel. Kesimpulan ini diperkuat dengan data Susenas 2021 bahwa sebanyak 48,43% difabel tidak memiliki ijazah jika dibandingkan dengan non difabel yang tidak memiliki ijazah sebesar 25,44%.
AKSES KESEHATAN INKLUSIF: Jaminan Alat Bantu dan Terapi Masih Jauh Dari Harapan
Di Aceh, sebanyak 290 anak cerebral palsy dan autis di wilayah Aceh Besar dan Banda Aceh menjadi klien rutin sebuah yayasan yang didirikan oleh organisasi nonpemerintah. Untuk mengakses terapi tersebut para orang tua yang memiliki pendapatan rendah tidak perlu membayar (gratis), sedangkan orang tua lainnya (yang jumlahnya lebih sedikit) dan memiliki pendapatan tinggi dikenakan pembayaran untuk subsidi silang. Terdapat 4 volunteer yang merupakan fisioterapis, dosen serta aktivis yang bersusah payah mempertahankan terapi tersebut agar tetap berjalan dan menjangkau anak-anak cerebral palsy dan autis lainnya hingga ke desa-desa pelosok meski ketersediaan dana seringkali menjadi kendala.
Situasi di atas menunjukkan fakta minimnya layanan kesehatan yang mudah diakses oleh difabel terutama cerebral palsy dan autis yang memerlukan terapi rutin. Undang-Undang no. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang disabilitas untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis. Kemudian UU nomor 8 tahun 2016 semakin memperkuat dengan kewajiban bagi negara untuk memberikan pelindungan, penghormatan dan pemenuhan hak-hak difabel termasuk kesehatan. Faktanya, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) belum mencakup seluruh layanan terapi yang diperlukan difabel mengikuti siklus hidupnya. Sebuah keluarga di Banjarmasin, hanya dapat menikmati terapi untuk anaknya yang autis hanya sampai usia 11 tahun saja. Seorang anak berusia 7 tahun yang mengalami speech delay tidak mendapatkan terapi wicara di wilayah Aceh Barat karena terapi hanya tersedia di wilayah Medan dan tidak dicover oleh JKN.
Begitupun juga dengan alat bantu, JKN saat ini hanya menjamin 7 jenis alat bantu dari 70 an ragam alat bantu yang diperlukan oleh difabel. Tidak heran apabila data aksesibilitas alat bantu yang dihasilkan Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan bersama ADINKES Indonesia dan Institute Inklusif Indonesia dari hasil survei di NTT dan Jawa Timur tahun 2022 menemukan bahwa hambatan terbesar dalam akses alat bantu adalah terkait keterjangkauan. Mengingat harga-harga alat bantu terbilang mahal untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Upaya yang dilakukan oleh organisasi difabel di Indonesia dalam penyediaan alat bantu dari hasil donasi mitra pembangunan juga masih terkendala dengan besarnya pajak yang diberlakukan untuk masuknya alat-alat bantu yang dikirim dari luar negeri. Pajak barang mewah menjadi ketentuan yang harus dibayarkan jika akan melakukan pengambilan alat bantu di bea cukai. Situasi ini sering menjadi hambatan bagi organisasi non pemerintah yang terkena wajib bayar puluhan hingga ratusan juta demi menebus donasi alat bantu dari para mitra donor luar negeri.
Pemerintah sebenarnya telah menetapkan peta jalan layanan kesehatan yang inklusif dengan tujuh sasaran strategis, yakni (1) Mengatasi hambatan fisik dan informasi dalam mengakses layanan; (2) menyediakan tenaga kesehatan yang terampil dan peka disabilitas; (3) menyediakan layanan kesehatan yang menyeluruh; (4) meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas; (5) menguatkan mekanisme dan pelembagaan implementasi kerangka kebijakan; (6) meningkatkan anggaran sektor kesehatan di tingkat pusat dan daerah untuk pengembangan layanan inklusif; (7) mendorong kebijakan dan program yang berlandaskan informasi akurat. Andai saja peta jalan tersebut diimplementasikan, mungkin sudah banyak perubahan sektor kesehatan yang dapat dirasakan.
Akses dan Jaminan Keadilan
Sektor peradilan berkembang dengan cukup progresif. Setidaknya lebih dari 200 pengadilan mendapatkan dukungan anggaran untuk meningkatkan aksesibilitas menyusul terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 39 tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan. Badan Peradilan juga telah mengeluarkan surat edaran terkait aksesibilitas dan layanan bagi difabel. Meski demikian, realitasnya hambatan masih saja ditemui bagi difabel yang mencari keadilan, mulai dari ketersediaan layanan bantuan hukum, sarana dan layanan yang kurang aksesibel, hingga proses peradilan yang masih belum sepenuhnya memberikan jaminan keadilan bagi difabel. Belum lagi masalah kapasitas hukum difabel intelektual dan mental yang masih belum sepenuhnya mendapatkan pengakuan. Permasalahan ini menyisakan pekerjaan lanjutan di sektor peradilan yang tidak sederhana.
Menjadikan Difabel Sebagai Arus utama
Uraian di atas hanyalah sebagian yang sangat kecil dari realitas situasi difabel saat ini. Untuk menyelesaikannya tak cukup dengan praktik-praktik baik yang parsial, melainkan harus menyeluruh. Difabel sebagai isu lintas sektor tak cukup hanya berhenti di atas kertas dan bumbu diskusi, tetapi tertuang dalam kerja-kerja setiap bidang birokrat, teknokrat, maupun akademisi dan swasta. Dengan demikian, agenda inklusi difabel sudah waktunya menjadi prinsip bagi setiap prioritas pembangunan.
Keberpihakan nyata atas inklusi difabel harus lebih terukur pada berapa indikator, program, kegiatan, hingga sub-kegiatan dimana inklusi maupun afirmasi bagi difabel tersedia. Keseriusan menjadikan inklusi sebagai prinsip dalam agenda pembangunan juga perlu dituangkan dalam pernyataan persentase anggaran yang dialokasikan untuk mendukung dan memastikan inklusi difabel.
Pemantauan Kolaboratif
Sangat sulit berbicara kemajuan tanpa data. Hingga saat ini bahkan tak ada data akurat tentang berapa perbandingan kesenjangan pendidikan, pekerjaan, akses bantuan sosial, atau keteraksesan layanan peradilan, antara difabel dan non difabel. Artinya, klaim negara atas kemajuan yang terjadi lebih pada penggambaran hal-hal yang dilakukan (proses), dan bukan pada dampak yang terjadi dan dirasakan (hasil). Karenanya, sistem monitoring yang efektif mulai dari pengumpulan data, sistem pengawasan, sistem pengaduan dan tindak lanjut hingga tindak lanjut temuan dan pemanfaatan data monitoring untuk perbaikan menjadi pekerjaan bersama yang perlu diselenggarakan secara kolaboratif. Sebagai lembaga yang lahir dari gerakan difabel, sudah sepatutnya KND mengedepankan akuntabilitas dalam mendampingi Kementerian dan Lembaga negara mengawal pengarusutamaan difabel, serta menggerakkan lembaga-lembaga HAM Nasional dan lembaga pengawasan pelayanan publik untuk turut memonitor jaminan pelaksanaan HAM, serta pelayanan yang lebih adil dan inklusif. Karenanya, langkah yang lebih berani dengan dukungan pergerakan dan masyarakat difabel menjadi sangat diperlukan.
Telah dibentuknya Komisi Nasional Disabilitas setahun yang lalu penting diapresiasi. Tetapi, iya belum akan mempunyai arti jika belum memberikan warna yang nyata dalam mekanisme pemantauan pemenuhan hak difabel dan tindak lanjutnya. Setahun bukanlah waktu yang terlalu cepat untuk mengawali mekanisme tersebut.
Akhirnya, semoga Hari Difabel Internasional tahun ini tak hanya berhenti pada perayaan, diskusi, peluncuran praktik baik, tetapi membangun kesadaran melalui penerimaan dan pengakuan, membangun solusi melalui inovasi yang didukung dengan scaling up secara serius.
Narahubung:
Nur Syarif ramadhan, Ketua Eksekutif Nasional FORMASI Disabilitas – Ketua PERDIK – 085256233366
Ranie Ayu Hapsari – Sekretaris FORMASI Disabilitas – Pusat rehabilitasi YAKKUM – 081360372289
Robandi – Koordinator Data dan Informasi FORMASI Disabilitas – Koordinator Program SIGAB Indonesia – 081310170607
Komentar Terbaru