Oleh: Nur Syarif Ramadhan
Diskusi yang digelar oleh mas Joni Yulianto di kanal YouTube-nya beberapa waktu lalu menghadirkan sejumlah tokoh yang selama ini aktif dalam gerakan disabilitas. Hadir dalam percakapan itu antara lain pak Maman, mas Belly, mas Angga dan mas Bejo. Dengan latar suasana buka puasa bersama, obrolan mereka mengalir dari hal-hal ringan ke isu yang lebih mendesak: bagaimana kebijakan efisiensi anggaran berisiko meminggirkan kembali isu disabilitas dari prioritas pembangunan.

Salah satu pernyataan penting datang dari pak Maman. Ia menyampaikan bahwa isu disabilitas selama ini masih berada di pinggiran kebijakan. Maka ketika negara melakukan efisiensi, pemotongan anggaran seringkali menyasar program yang dinilai tidak prioritas—dan isu disabilitas termasuk di antaranya.

Ini bukan sekadar kekhawatiran. Ia mengungkap bahwa anggaran Komisi Nasional Disabilitas yang seharusnya mencapai 23 miliar rupiah per tahun, direalisasikan hanya sekitar 800 juta setelah refocusing. Di saat yang sama, anggaran untuk program makan siang gratis melonjak hingga 170 triliun rupiah. Sementara itu, laporan tentang pencabutan KIP, PKH, dan layanan terapi bagi penyandang disabilitas mulai muncul dari berbagai wilayah.

Narasi efisiensi anggaran memang sah dalam situasi fiskal yang menantang. Namun dalam praktiknya, kebijakan ini dapat menjadi sangat problematik jika dijalankan tanpa kerangka keberpihakan. Program yang menyasar kelompok rentan sering kali menjadi yang pertama dikurangi bukan karena paling membebani anggaran, tetapi karena posisinya paling lemah dalam arena politik kebijakan.

Kembalinya pak Maman ke Solo setelah bertahun-tahun bekerja di Kantor Staf Presiden menjadi bagian dari refleksi penting dalam diskusi ini. Ia menyampaikan bahwa kerja-kerja advokasi tidak boleh berhenti di pusat. Justru, penguatan komunitas lokal dan konsolidasi lintas desa menjadi kunci agar gerakan tetap hidup dan kontekstual.

Mas Belly menambahkan bahwa banyak komunitas disabilitas di tingkat akar rumput sebenarnya sudah mulai membangun forum kolaboratif antar desa. Namun, di tengah penyusutan anggaran dan belum meratanya dukungan pemerintah daerah, keberlanjutan gerakan ini menjadi rapuh jika tidak didukung oleh kebijakan dan pendanaan yang memadai.

Diskusi ini juga menekankan pentingnya strategi advokasi yang terstruktur. Pak Maman menyebut kembali konsep empat gugus tugas: tim lobi, tim logistik (data dan dukungan), tim media, dan tim pengerahan massa. Pembagian peran seperti ini bukan hanya efisien secara gerakan, tapi juga memperjelas kontribusi masing-masing simpul dalam mendorong perubahan kebijakan.

Menjaga Nafas Gerakan
Diskusi ini adalah pengingat bahwa perhatian negara terhadap difabel tidak bisa bergantung pada goodwill semata. Ia harus dikawal melalui kerja-kerja politik, data, narasi, dan konsolidasi komunitas.
Kita tahu, tidak semua program harus dipertahankan saat anggaran negara terbatas. Tetapi ketika yang dipotong justru layanan dasar seperti terapi, bantuan alat bantu, atau akses pendidikan bagi difabel, maka yang dikorbankan bukan sekadar anggaran—tetapi hak warga negara.

Gerakan disabilitas hari ini perlu membaca situasi ini sebagai tanda bahaya dini. Di satu sisi, negara belum sepenuhnya memprioritaskan isu disabilitas. Di sisi lain, struktur advokasi belum cukup kuat untuk menjamin keberlanjutan. Maka yang dibutuhkan adalah penguatan dari dalam: data yang solid, jaringan yang aktif, dan strategi yang terarah.

Pak Maman benar ketika mengatakan bahwa advokasi adalah nafas gerakan. Dan nafas itu hanya akan tetap hidup jika kita merawatnya bersama, dengan kesadaran dan keberanian yang terorganisir.[*]