(Minggu, 23 Maret 2025)

Pagi ini, saya merasakan sebuah panggilan hati yang kuat—sebuah momen di mana harapan dan keyakinan bertemu. Campuran antara antusiasme dan harapan. Saya cukup lama berkecimpung dalam advokasi hak-hak penyandang disabilitas, tetapi ada satu hak yang jarang dibicarakan dalam forum-forum inklusi: hak untuk beribadah dengan tenang dan tanpa rasa khawatir. Maka ketika saya mendengar bahwa Keuskupan Agung Makassar akan mengadakan Misa Khusus untuk Anak Berkebutuhan Khusus, saya tahu saya harus hadir.

Sejak pagi, saya sudah bersiap-siap. Arung, anakku yang autistik, nampak gagah dan semangat setelah sarapan dan mandi. Adiknya, Desa, juga ikut bersiap. Kami tiba lima belas menit sebelum misa dimulai, dan saya melihat beberapa keluarga yang sudah saya kenal. Masing-masing membawa anak-anak mereka, anak-anak hebat yang sering kali harus menghadapi tatapan heran di tempat-tempat umum. Tapi hari ini, di aula keuskupan yang luas ini, mereka tidak perlu merasa berbeda. Mereka diterima apa adanya.

Saat misa dimulai, suara khas pekikan anak-anak autistik terdengar sesekali, tapi kali ini tidak ada tatapan aneh. Tidak ada orang yang menoleh dengan heran. Semua orang mengikuti misa dengan tenang. Pianis yang mengiringi misa juga seorang autistik dewasa, dan itu membuat saya semakin terharu. Betapa indahnya ketika semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat dalam peribadatan, tanpa rasa takut atau cemas.

Ketika misa usai, Pastor Andreas Rusdyn menyempatkan diri menyalami setiap umat satu per satu. Ada air mata haru di beberapa wajah. Ibu Wati, yang membawa putranya Nicolo, bahkan sempat berkata, “Saya sampai meneteskan air mata. Biasanya kalau bawa Nico ke gereja, perasaan saya campur aduk—takut kalau dia membuat keributan, takut pada tatapan orang-orang. Tapi di sini, saya merasa damai. Akhirnya, ada misa di mana kita bisa tenang tanpa merasa dihakimi.”

Saya pun sempat bertanya kepada Pastor Rusdyn tentang inisiatif Misa Khusus ini. Beliau menjelaskan bahwa Gereja Katolik hadir untuk semua jiwa yang merindukan Tuhan, termasuk mereka yang sering kali terpinggirkan. Gereja ingin menjadi ruang bagi semua orang, tempat di mana belas kasih Allah benar-benar dapat dirasakan oleh semua umat-Nya, termasuk keluarga dengan anak-anak berkebutuhan khusus.

Pastor juga menyinggung tentang renovasi Gereja Katedral yang sedang berlangsung. Nantinya, gereja ini akan memiliki ramp untuk memudahkan akses bagi penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda. Ini adalah langkah nyata menuju inklusi yang sesungguhnya. Tak hanya itu, ada rencana agar Misa Khusus ini bisa diadakan secara rutin dan terbuka untuk semua penyandang disabilitas, tidak hanya yang beragama Katolik.

Saya pulang ke rumah dengan hati yang penuh. Saya sadar bahwa perjuangan menuju inklusi dalam beribadah masih panjang, tetapi hari ini adalah awal yang baik. Hari ini, saya melihat sendiri bagaimana kasih Tuhan benar-benar tidak memandang perbedaan. Hari ini, saya melihat secercah harapan bagi Arung, Nicolo dan banyak anak lainnya untuk bisa beribadah dengan damai, tanpa rasa takut. Dan saya tahu, kami akan terus memperjuangkan hak ini. Karena setiap orang berhak merasa diterima di rumah Tuhan.

(Ni Nyoman Anna Marthanti – Sekretaris Persatuan Orangtua dengan Anak Autis Makassar)