Oleh: Nabila May Sweetha, Mahasiswa Universitas Hasanuddin, dan Pengurus PerDIK

Sebenarnya saya sedang libur dan sedang di Pangkep ketika dihubungi oleh sekertaris Dewan Pengurus Pusat Persatuan Tunanetra Indonesia (DPP PERTUNI). Katanya saya harus menyetor paspor dalam waktu dekat sebagai prasyarat mengikuti blind youth summit di Manila awal desember tahun ini. Makanya saya ke Makassar, karena menurut pengalaman teman-teman yang pernah ke luar negeri, meski tinggal di luar Makassar tetapi masih di dalam profinsi Sulawesi Selatan mereka mengurus paspor ya di Makassar. Kebetulan juga kantor imigrasi yang beralamat Jl. Perintis Kemerdekaan No.KM.13, Kapasa, Kec. Tamalanrea, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, tidak jauh dari rumah tempat saya ngontrak selama kuliah ini. Sayangnya karena libur dan teman-teman kampus semuanya pada pulang kampung, saya jadi tidak tahu harus bersama siapa ke kantor imigrasi. Saya walau menjadi difabel penglihatan (tunanetra total) sejak enam tahun lalu, masih tidak terbiasa didampingi oleh orang asing. Saya lebih suka bepergian bersama teman atau kalau tidak, ya lebih memilih sendiri saja ketimbang harus didampingi oleh orang yang tidak begitu saya akrabi.

Ok, akhirnya saya ke kantor imigrasi tanpa pendamping. Jujur agak ragu dan khawatir sebab dari pengalamanku, di kantor-kantor pelayanan publik, begitu sulit bermobilitas dengan mandiri dan mengakses layanan karena tidak adanya aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi difabel. Tapi saya menguatkan hati dan akhirnya pergi.

Tanggal 13 Juli 2023, kamis yang gerimis. Saya memesan taxi online dan berlari-lari kecil naik ke atas taxi. Walau hanya gerimis, titik-titik hujan yang turun cukup untuk membasahi beberapa bagian kemeja. Saya berangkat dengan hati yang semakin khawatir sebab dari intonasi suara, driver yang mengemudikan taxi online tidak begitu ramah. Saat sampai di titik tujuan dan saya bertanya apakah mobil sudah berhenti tepat di depan kantor imigrasi, tidak lupa juga menjelaskan bahwa saya sama sekali tidak bisa melihat, bapak driver hanya mendehem pelan. Saya turun di pinggir jalan dan meluruskan tongkat.

Di depanku ada lubang, tongkatku tidak sampai ke dasarnya dan saya berasumsi itu adalah got. Saya lalu menelusuri jalan dan mendapatkan aspal yang memiliki kemiringan sekitar tiga puluh derajat. Saya naik ke aspal itu dan berjalan masuk. Jalanannya agak menanjak dan cukup licin, karena tersiram rintik hujan. Untungnya gerimis sudah berhenti saat saya menelusuri jalan masuk kantor imigrasi itu.

Saya terus jalan ke depan sambil mendengar-dengar barangkali ada suara langkah kaki orang lain yang bisa saya tanyai di mana letak bangunan kantor imigrasi, karena saya hanya berjalan di jalanan basah yang saya perkirakan adalah lapangan parkir. Lapangan parkir yang cukup luas. Sempat ada mobil yang lewat di arah kanan, saya berbalik dan mau bertanya, tetapi mobil itu terus jalan mungkin mencari tempat kosong untuk parkir. Dari suara mesin mobil itu saya akhirnya bisa mengetahui luas parkiran yang ternyata, ya memang sangat luas. Mungkin sepuluh menit berputar-putar saya baru mendengar langkah kaki orang. Saya bertanyalah ke orang itu.

“Di sana, terus maju,” katanya.

Mengikuti intruksi, saya akhirnya berjalan maju. Lalu berhenti di tempat yang ramai dan mulai bertanya lagi. Seorang perempuan, dari suaranya mungkin berusia awal tiga puluhan, mengantar saya menuju tempat antre pembuatan paspor. Dia menarik lengan saya tetapi saya sigap mencontohkan cara membimbing difabel penglihatan yang aman dan nyaman untuk si difabel.

Sampai di tempat antrean kemudian seorang lelaki, mungkin staf atau security kantor imigrasi menanyai saya mau mengurus apa, untuk apa, dan meminta berkas-berkas. Saya memberikan akte kelahiran, kartu keluarga, dan kartu tanda pengenal. Kesemuanya dalam bentuk foto copy. Ia menerimanya dan meminta saya menunggu. Saya iyakan, di sekitarku terdengar suara orang bercakap-cakap dan sesekali suara memanggil nomor antrean dari speaker di sebelah kanan. Sudah nomor 50an, saya mengaduh pelan, akan lama menunggu pikirku.

Sekitar sepuluh menit kemudian lelaki yang tadi mengambil berkas-berkasku datang, ia bertanya bagaimana harus mendampingi sebab katanya saya sudah harus ke dalam. Saya mencontohkan cara yang benar dan akhirnya kami berjalan masuk. Sepanjang jalan saya merasa ada jalur pemandu khusus tunanetra atau guiding blok, ada bidang miring juga.

“Terasa?” Tanya lelaki itu.

Saya mengangguk dan tersenyum. Lalu menjelaskan, bahwa kaki-kaki saya tidak begitu peka merasakan garis-garis timbul.

“Oh berarti kebutuhan setiap tunanetra berbeda ya?” Tanyanya.

Saya mengangguk.

Kami terus berjalan ke dalam, dan saya diminta duduk di satu bangku. Lelaki tersebut mengurus proses administrasi, mungkin mengisi folmulir atau entahlah, sebab beberapakali dia bertanya. Misalnya nanti mau ke negara mana, berapa lama, apakah ini yang pertama, mau paspor jenis apa. Saya menjawab semuanya sambil senyum. Ini adalah pengalaman pertamaku ke kantor imigrasi dan ternyata tidak masalah difabel penglihatan mengurus paspor sendirian di Makassar. Ini sangat mudah dan stafnya sangat ramah.

Tidak lama kemudian, kami berjalan lagi dan tetap ada guiding blok di tiap lantai yang kami lewati. Kami menuju sebuah meja, dan saya diminta duduk di kursi yang ada di depan meja. Itu adalah meja dengan seorang perempuan yang bertugas untuk memfoto dan merekam data sidik jari. Pupil saya tidak bisa teridentivikasi di kamera, mungkin, dan perempuan di meja itu langsung bertanya apakah saya pakai mata palsu?

“Iya, Kak, dua-duanya ini mata palsu.”

Dia mengoh pelan, bersama rekan-rekannya yang lain dia terus berbicara soal difabel. Pengetahuan mereka tentang difabel dan inklusi sosial menurut saya cukup bagus. Ini kabar bagus untuk teman-teman aktivis difabel di Makassar, menurut saya, karena advokasi yang selama ini dilakukan sampai mandi keringat bertahun-tahun ternyata sudah membuahkan hasil.

Ada beberapa poin penting yang saya temukan hari itu. Pertama, bahwa staf kantor imigrasi Makassar sudah tanggap dan ramah difabel. Kedua, kantor imigrasi Makassar sudah memiliki aksesibilitas bangunan fisik yang cukup baik untuk difabel. Ketiga, difabel yang perlu mengurus administrasi di kantor imigrasi Makassar tidak perlu menganre lama. Dan keempat, bagi teman-teman difabel yang mau ke kantor imigrasi Makassar tidak perlu bersama pendamping.[*]

Editor: Nur Syarif Ramadhan