Di Mamuju, seorang Kepala Sekolah SLB dirundung oleh sejawatnya di Dinas Pendidikan. Kepala Sekolah ini memiliki pemikiran yang bagus tentang pendidikan khusus dan inklusi. Ia memang mengelola sekolah khusus, tapi menurutnya, sekolah ini hanya untuk difabel yang benar-benar membutuhkan perlakuan khusus pada jenjang dasar pendidikannya. Ia mencontohkan anak autistik atau anak Tuli, dan anak dengan kondisi fisik berat seperti cerebral palsy.

“Kalau cuma difabel netra atau fisik, langsung saja ke sekolah reguler, tak butuh SLB, ” Ungkapnya lantang.

Kami, dari tim Formasi Disabilitas dan Bappenas sedang menginisiasi proses penyusunan RAD Disabilitas. Karena cuaca buruk, seharusnya kami tiba di Mamuju pada 11 Oktober dan berdiskusi langsung dengan Pak Ishak, nama beliau. Tapi karena dibatalkan, kami akhirnya mengajaknya berdiskusi secara online.

Saat mendiskusikan bagaimana kesiapan daerah menjalankan sistem pendidikan inklusi, ia menyampaikan dengan sigap, “pengetahuan belum siap”.

“Saya saja, Kepala Sekolah, dibully!” nadanya meninggi.

Saat itu Pak Ishak ke Dinas Pendidikan dan rekannya bilang, “datangmi kepala sekolah bodo’-bodo’,” Ceritanya dengan nada miris. Ia tak dapat menahan diri. Ini harus kusampaikan, katanya.

Ia menegur temannya itu. Kalau mau bully saya jangan di depan orang banyak, langsung sampaikan ke saya. Anda tidak tahu bahwa anak-anak didik saya itu Tuli dan bukan orang bodoh.

Disabilitas sebagai sebuah ‘identitas’ maupun sebagai sebuah ‘konsep’ untuk menjelaskan fenomena difabel dan interaksinya dengan warga negara lainnya dalam beragam lingkungan penghidupan masih jauh dari dipahami. Salah ucap, maupun salah memperlakukan serta salah dalam merespon kebutuhan difabel adalah tanda minimnya sosialisasi, internalisasi maupun eksternalisasi terkait difabel dan disabilitas. Karena minim pengetahuan, maka tidak tau, karena tidak tau inilah yang mendasari adanya ejekan dan bulliyan kepada difabel, atau perlakuan protektif kepada difabel bahkan penyembunyian sampai pada pengabaian dan eksploitasi.

Lalu, tantangan apa lagi yang dihadapi pemerintah di Sulbar dalam memajukan pendidikan untuk disabilitas?

Pemerintah itu kurang berdiskusi dengan kami penggiat pendidikan khusus. Untuk sekolah-sekolah inklusi yang ditunjuk dari SD sampai SMA itu tidak sedikitpun melibatkan kami. Guru-guru sekolah reguler itu mana tau? Dan saat mereka ditunjuk dan digelontorkan dana mereka tidak tau mau bikin apa? Mereka tidak siap secara pengetahuan pendidikan khusus dan mereka juga tidak mengajak kami mendiskusikan langkah-langkah persiapan menuju sekolah inklusi.

“Ini seperti membuang air galon,” ujarnya memberi perumpamaan bagaimana pemerintah menggelontorkan uang yang lalu menjadi sia-sia.

Bisa dikatakan program pendidikan inklusi melalui penunjukan itu sebagai program yang gagal. Mestinya kita bisa mendiskusikan bersama dan berupaya bersama.

Menyiapkan Rencana Aksi Daerah Penyandang Disabilitas merupakan cara memikirkan lagi langkah-langkah menuju inklusi Disabilitas. Pemikiran-pemikiran seperti yang disampaikan Pak Ishak pengelola LKS Kasih Ibu sangat penting. Bukan itu saja, dia juga bersedia berkontribusi tenaga dan materi, sebagaimana selama ini ia dan istrinya telah tunjukkan melalui pengelolaan LKS dan SLB secara baik dan memanusiakan anak-anak didik dalam belajar.

Saat ini, SLB-nya menampung 70-an anak didik. Sebelum gempa, 25 diantaranya tinggal di asrama. Namun beberapa bagian bangunan rusak dan berbahaya untuk ditinggali. 25 anak ini kembali ke kampung mereka. Untuk urusan permakanan maupun alat-alat belajar serta transportasi siswa ia harus berkreasi memanfaatkan bantuan yang diterima, baik dari bantuan pendidikan maupun dana BOS dari kementerian. Ia tidak begitu pandai dengan bantuan DAK provinsi, sehingga koceknya sendiri maupun bantuan orang perorang seperti dari orang tua siswa yang mampu terpaksa dipakai menutupi kebutuhan-kebutuhan yang mendesak.

Proses kami menghimpun pengetahuan pengetahuan senada bukan hanya di bidang pendidikan masih akan berlanjut. Senin dan selasa ini, kami akan mengobrol lagi dengan orang-orang yang ahli di bidangnya.

Go Sulbar Inklusi!
Penulis: Ishak Salim