SIARAN PERS
FORUM MASYARAKAT SIPIL PEMANTAU UNTUK INDONESIA INKLUSIF DISABILITAS
(FORMASI DISABILITAS)
Untuk Dipublikasikan Segera
TAK LINDUNGI KESETARAAN HUKUM PENYANDANG DISABILITAS, RUU TPKS HARUS DIPERBAIKI
Kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan kian marak terjadi dengan korban penyandang disabilitas. Sayangnya, saat berusaha mencari keadilan, para korban menjadi korban kedua kalinya ketika nilai pembuktian dari kesaksiannya bahkan tak diyakini serta ketiadaan akomodasi layak yang mendukung proses yang fair dalam setiap proses peradilan. Penyandang disabilitas dengan demikian berharap banyak terhadap Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang kini tengah dalam pembahasan agar konsisten menjamin pemenuhan hak penyandang disabilitas, sebagaimana ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (UN CRPD) melalui UU 19/2011.
Hari ini, Panitia Kerja (PANJA) RUU TPKS menjadwalkan untuk melangsungkan rapat kerja pengambilan keputusan setelah merampungkan pembahasan dan sinkronisasi draft bersama Pemerintah. Sayangnya masih terdapat substansi pengaturan yang berpotensi melemahkan kedudukan dan kapasitas hukum penyandang disabilitas, utamanya dalam memberikan kesaksian dan pembuktian, sebagaimana tercantum dalam draft versi 4 april 2022 pasal 25 ayat 4, 5 dan 6.
Pada pasal 25 ayat 4, 5 dan 6 draft tersebut dinyatakan bahwa
Ayat (4) “Penilaian atas kekuatan pembuktian dari keterangan Saksi dan/atau Korban Penyandang Disabilitas dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nurani dan kesesuaian dengan alat bukti lainnya dengan memperhatikan kebutuhan khusus Penyandang Disabilitas”.
Ayat (5) dalam hal “Saksi dan/atau Korban merupakan Penyandang Disabilitas mental dan/atau intelektual, hakim wajib mempertimbangkan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa atas kecakapan mental dan/atau intelektual Saksi dan/atau Korban untuk menjalani proses peradilan pidana dalam menilai kekuatan pembuktian dari keterangan Saksi dan/atau Korban tersebut”.
Ayat (6) “Keterangan Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) wajib didukung dengan penilaian personal sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai akomodasi yang layak untuk Penyandang Disabilitas dalam proses peradilan”.
Beberapa pengkritisan FORMASI disabilitas atas draft di atas adalah
Pertama, alih-alih menguatkan perlindungan, tiga ayat di atas justru telah melemahkan kualitas nilai kesaksian penyandang disabilitas. Kearifan dan kebijaksanaan hakim, serta pertimbangan kesesuaian kesaksian dengan alat bukti berlaku umum baik korban merupakan penyandang disabilitas ataupun bukan. Adapun kebutuhan khusus yang perlu direspon dengan aksesibilitas serta akomodasi yang layak merupakan bagian dalam mendukung kapasitas penuh penyandang disabilitas sebagai subyek hukum untuk memberikan kesaksian. Dengan demikian, tiga ayat di atas akan melemahkan kapasitas kesaksian penyandang disabilitas.
Kedua, tiga ayat di atas sama sekali tidak menginterpretasikan konsepsi HAM dan Model Sosial Disabilitas. Hasil tes kejiwaan dan/atau intelektual tidak sepatutnya menjadi instrumen untuk menilai bobot dan kualitas kesaksian. Semestinya, instrumen tersebut justru menjadi pertimbangan untuk memberikan dukungan dengan tujuan menguatkan kapasitas dan kualitas nilai pembuktian kesaksian serta kemampuan penyandang disabilitas untuk memberikan kesaksian dengan seakurat mungkin. Bukannya memperkuat dukungan dan pelindungan bagi penyandang disabilitas korban kekerasan seksual, substansi ini justru mengindikasikan ketidakharmonisan dengan kebijakan pemenuhan hak penyandang disabilitas.
Ketiga, substansi pada tiga ayat di atas tak hanya bertentangan dengan UU 19/2011 tentang ratifikasi konvensi hak penyandang disabilitas, utamanya pada pasal 5, 6, 9, 12 dan 13, serta UU 8/2016 tentang penyandang disabilitas, melainkan juga tidak konsisten dengan 1) UUD 1945 pasal 27 dan 28; 2) UU No 12 th 2005 konvensi hak sipil politik pasal 13 sd 16; 3) , UU no 35 tahun 2014 pasal 59 dan pasal 59 a; 4), UU Sistem Peradilan Pidana Anak pasal 3; 5) Deklarasi Universal HAM pasal 6, 7), PP No.39 tahun 2020 tentang akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam proses peradilan. Ketidakharmonisan kebijakan ini di kemudian hari akan menyebabkan ketidakpastian perlindungan bagi penyandang disabilitas, laki-laki maupun perempuan, yang menjadi korban kekerasan seksual.
Atas catatan tersebut, Kami, Forum Masyarakat Sipil Pemantau untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (FORMASI disabilitas) mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk:
- Mencabut/menghapuskan pasal 25 ayat 4, 5 dan 6 sebagaimana di atas dan mengembalikan kepada DIM Nomor 185 versi DPR RI.
- Membuka kembali ruang dialog bersama organisasi penyandang disabilitas dan masyarakat sipil lainnya untuk memperkuat substansi RUU TPKS, utamanya terkait pengaturan penyelenggaraan profil asesmen sebagai bagian dari penyediaan akomodasi yang layak bagi korban kekerasan seksual.
Jakarta, 6 April 2022
Narahubung:
- Purwanti | SIGAB Indonesia | Divisi Pemantauan FORMASI Disabilitas (+62 813 29412360)
- Hari Kurniawan | LBH Disabilitas | Divisi Pemantauan FORMASI Disabilitas (+62 812 16182423)
Komentar Terbaru