Jaringan pegiat dan organisasi difabel bersama BAPPENAS dan KSP menyelenggarakan Seminar Virtual “Peluncuran Indikator Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas”. kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka memperkenalkan dokumen Indikator Pemenuhan Hak Difabel. Dokumen ini akan menjadi rujukan bersama Pemerintah, Organisasi Difabel maupun masyarakat sipil lainnya untuk terus memantau kemajuan pemenuhan hak difabel.

Slamet Sudarsono dari BAPPENAS mengapresiasi inisiatif ini. Ia menyatakan bahwa dokumen ini sangat penting untuk menilai sejauhmana upaya pemerintah dalam perlindungan dan pemenuhan hak difabel di Indonesia.

Purwanti, salah satu tim penyusun sekaligus koordinator advokasi Sigab Indonesia, menjelaskan bahwa ada tiga indikator penting dalam dokumen tersebut. Pertama, indikator struktur. Indikator ini berfungsi untuk menilai perlindungan hak difabel dalam regulasi, baik ditingkat pusat maupun daerah.

Baca Juga: BAPPENAS-KSP Apresiasi Pembentukan Indikator dan Alat Pemantauan Pemenuhan Hak Difabel

Kedua, indikator proses adalah alat ukur guna mengetahui apa saja upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam memenuhi hak difabel.

Ketiga, indikator hasil. Indikator ini berguna untuk melihat sejauhmana regulasi dan upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah berdampak terhadap penikmatan HAM kelompok difabel.

Tanggapan Kementerian dan Lembaga

Dalam seminar virtual ini, ada beberapa kementerian dan lembaga yang hadir serta memberikan tanggapan. Togap Simangunsong dari Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menyatakan bahwa perlu adanya kerja kolaboratif dalam menindaklanjuti tersusunnya dokumen Indikator Pemenuhan Hak Difabel ini. Selain itu, ia menambahkan bahwa kedepan perlu dipikirkan apakah diperlukan payung hukum untuk memastikan penggunaan dokumen Indikator Pemenuhan Hak Difabel.

Kemudian, Rudi Syamsir dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) mengatakan bahwa dokumen ini akan membantu pihaknya sebagai kementeriaan koordinator dalam mengkoordinasikan upaya perlindungan dan pemenuhan hak difabel. Hal ini sangat penting, mengingat selama ini belum terdapat dokumen pemantauan yang dapat menjadi acuan. Rudi menambahkan, kedepan sosialisasi kepada lembaga-lembaga pemerintahan harus dilakukan untuk memastikan penggunaan dokumen ini.

Selanjutnya, R. Budiono Subambang dari Kementerian dalam Negeri (Kemendagri) mengungkapkan perlunya mengintegrasikan dokumen Indikator Pemenuhan Hak Difabel ini ke dalam dokumen perencanaan. Ini penting, karena kementeriannya memiliki beberapa tugas terkait pemenuhan hak difabel.

Selain terdapat perwakilan Kementerian, hadir juga perwakilan pemerintah daerah. M Syaiful dari kabupaten Situbondo menyambut baik lahirnya dokumen pemantauan ini. Dokumen ini akan memudahkan upaya pemerintah daerah dalam mewujudkan inklusivitas di level kabupaten/kota. Selama ini, pihaknya memiliki tantangan tersendiri, karena adanya dokumen pemantauan hak difabel.

Dalam kesempatan ini, perwakilan institusi pemantau Hak Asasi Manusia juga menghadiri kegiatan ini. Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Ombudsman RI masing-masing mengirimkan anggotanya dalam diskusi peluncuran Indikator Pemenuhan Hak Difabel.

Sandra Moniaga, komisioner Komnas HAM, menyampaikan bahwa lahirnya indikator ini akan memudahkan pemantauan hak difabel di Indonesia. Bahrul Fuad, komisioner Komnas Perempuan, juga menyatakan hal yang senada. Bagi pihaknya, ini akan memudahkan pemantauan perlindungan dan pemenuhan hak perempuan difabel sebagaimana yang telah dilakukan Komnas Perempuan selama ini. Johanes Widiantoro, komisioner Ombudsman RI akan membantu kinerja Ombudsman dalam mencegah dan menyelesaikan kasus-kasus maladministrasi yang terkait dengan perlindungan dan pemenuhan hak difabel.

Yeni Rosa Damayanti, perwakilan kelompok masyarakat sipil, menutup sesi tanggapan pada seminar virtual peluncuran Indikator Pemenuhan Hak Difabel ini. Menurut Yeni, ia sependapat dengan yang diusulkan Togap Simangunsong, bahwa perlu dipikirkan mengenai legalisasi dokumen Indikator Pemenuhan Hak Difabel ini. Hal ini untuk memastikan adanya dasar hukum dan kekuatan mengikat dari dokumen yang telah dibuat.

Kedepan, kerja-kerja kolaboratif harus terus dilakukan dalam penggunaan dokumen pemantauan tersebut. Terutama, terkait sosialisasi terhadap lembaga/instansi pemerintah. ini akan menjadi sebuah kerja yang menantang, karena masih banyak institusi pemerintah yang belum memahami perlindungan dan pemenuhan hak difabel.

Sumber: Solider.id


Link media lain yang terkait: