Hari itu 7 Oktober 2023 adalah hari cukup kondusif, saya tiba di Masjid Istiqlal tepat waktu, pintu masuk menuju American Space Voice of Istiqlal tidak ada bidang miring sehingga Ayah saya yang “menyetir” kursi roda manual saya dan akhirnya saya selamat sampai di depan pintu masuk. Setelah itu, seperti biasa, saya sempat cek ombak aksesibilitas toilet juga. Menurut Ibu saya yang mengantar saya hari itu toilet umumnya kotor, syukurlah saya di toilet staf, akses menuju toilet cukup jauh, mungkin memakan waktu 10 menit, tapi dibantu oleh staf yang bertugas mendampingi saya hari itu, jadi memudahkan. Ada sekitar 3 bidang miring yang harus saya lalui untuk mencapai toilet. Tentu toiletnya bukan toilet yang khusus untuk disabilitas dan tidak ada tisu juga.

Kami bertiga, saya, Agatha Febrianty dan Andri Kasri Unru atau dipanggil Akas dari FORMASI Disabilitas mendapat undangan untuk menghadiri dialog lintas agama mengenai aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di tempat-tempat ibadah dari Kedutaan Besar Amerika yang menjadikan Sara Minkara sebagai pembicara. Sara Minkara adalah aktivis tunanetra perempuan, pendiri Empowerment Through Integration (ETI) yang adalah sebuah lembaga pemberdayaan penyandang disabilitas dan percepatan inklusivitas secara global, dan hingga saat ini ia adalah Penasihat Khusus tentang Hak-Hak Disabilitas Internasional di Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.

   Singkat cerita, acara itu yang saya kira adalah sebuah diskusi lintas agama, ternyata sangat islam sentris sekali. Sara Minkara yang hari itu memakai baju kuning bermotif dan berjilbab abu-abu selalu mencoba membuat topik seinklusif mungkin dan menyertakan contoh kasus di tempat ibadah lain selain masjid, yang justru memfokuskan segala sesuatunya mengenai Istiqlal adalah Pak Asep Saepudin Jahar. Entah dari mana asalnya, staf Istiqlal itu bahkan dipanggil “Jenderal” oleh Sara Minkara. Saya iseng cari melalui google setelah acara, ternyata beliau memang jenderal dan juga rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jujur, agak kaget karena ada satu pernyataan beliau yang mengganggu saya hingga detik ini, agak murka sebenarnya.. tapi karena saya mewakilkan organisasi walaupun saya menyanggah pernyataan beliau atas nama saya sendiri, saya mencoba untuk memasang muka datar dan tidak emosional.

   Terlontarnya pernyataan dari Pak Asep bermula dari Sara yang menanyakan apakah Voist (Voice of Istiqlal) sudah rutin atau cukup sering melaksanakan dialog-dialog serupa selain dengannya? Tentu sebagai Kepala Bidang Sosial dan Pemberdayaan Umat, Pak Asep agak defensif dan membalas,

 ”Oh iya tentu kami sering mengadakan dialog-dialog seperti ini dengan komunitas penyandang disabilitas.”

Agak aneh menurut saya, jika sering, mengapa perwakilan organisasi penyandang disabilitas berbasis kepercayaan tidak hadir saat itu?  Perkumpulan Tunanetra Kristiani (PETKI) ataupun Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) tidak ada dalam daftar organisasi yang diundang.

   Lalu, setelah Pak Asep menanggapi Sara, dan Sara mencoba dengan netral mengapresiasi Voist yang sudah mencoba mengakomodasi penyandang disabilitas di Istiqlal, tetapi Sara menekankan bahwa memang fasilitas umum seharusnya aksesibel untuk seluruh lapisan masyarakat. Tetiba muncullah pernyataan ableist salah satu pemimpin Istiqlal itu, dengan berbahasa inggris, ia menjawab,

 “Yes, we try our best to accommodate disabled people, but sometimes their requests for accessibility are too much”.

Saya menunggu diskusi selesai terlebih dahulu.

Sampai Sara berkata, “Is there anything the audience wanted to add or to respond to the statements before we move forward?”. Saya yang masih terusik dengan pernyataan Pak Jenderal, mengangkat tangan.

“I want to respond to a statement that the General said, but I’ll use Indonesian so everyone can understand,” kata saya. “Mohon maaf Pak, saya tidak setuju dengan pernyataan Bapak yang mengatakan permintaan aksesibilitas penyandang disabilitas itu berlebihan. Tidak ada yang namanya berlebihan karena kebutuhan penyandang disabilitas berbeda-beda. Seharusnya Istiqlal sebagai tempat umum memang akses untuk semua kalangan, termasuk penyandang disabilitas. Inklusivitas butuh proses dan komitmen juga konsistensi. Saya harap dengan adanya dialog hari ini Istiqlal bisa menjadi lebih inklusif lagi kedepannya, dan mengadakan dialog-dialog dengan tempat ibadah lainnya untuk menggerakan inisiatif tempat ibadah yang lebih inklusif, terima kasih,” sanggah saya.

    Dengan merefleksikan diri melalui tulisan ini, saya sadar bahwa sekalipun orang itu berpendidikan tinggi, tidak menjamin adanya empati, dan memaklumi mungkin kurangnya pengarusutamaan isu disabilitas di lingkungan, petinggi, bahkan mungkin staf Masjid  Istiqlal. Mungkin belum semua orang paham bahwa fasilitas publik  yang aksesibel juga hak penyandang disabilitas, sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 8 tahun 2016 Pasal 5 ayat (1) huruf M. Satu lagi, kebanyakan orang tidak menyadari bahwa semua orang adalah calon penyandang disabilitas. Mengapa? Karena siapapun bisa menjadi korban kecelakaan, bencana alam, bahkan kelalaian diri sendiri yang menyebabkan dirinya menjadi seorang dengan disabilitas.

   Akhir kata, saya berterima kasih kepada Kedutaan Besar Amerika yang telah mengundang dan menginisiasi dialog yang bertema “Interfaith Dialogue on Accessibility to Places of Worship” ini bersama Voist. Terima kasih sudah membantu FORMASI Disabilitas memetakan fasilitas umum yang belum sepenuhnya memahami apa makna inklusivitas sesungguhnya. Terima kasih juga kepada Agatha dan Akas, anggota FORMASI yang juga berada di ruangan yang sama sehingga saya menjadi lebih kuat.

Nothing About Us, Without Us!

Ilma Rivai (Koordinator FORMASI Disabilitas DKI Jakarta).