Tetap lanjutkan kerjasama dengan Klinik Cerebellum demi keberlangsungan layanan medik dan terapi pasien dan Anak Difabel

BPJS KESEHATAN Kota Makassar mengeluarkan keputusan kontroversial. Keputusan itu adalah surat pemberitahuan kepada Klinik Cerebellum perihal tidak perpanjang perjanjian kerja sama berlaku sejak 1 Januari 2023 nanti. Surat nomor 3470/IX-01/1222 tersebut dikirimkan pada 23 Desember 2022 oleh pihak BPJS kepada Klinik Cerebellum. Di dalam surat berisi dua poin alasan tidak memperpanjang kerjasama dengan Klinik Cerebellum, yaitu; terdapat beberapa temuan ketidaksesuaian/pelanggaran komitmen dan kepatuhan kontrak kerjasama yang telah disepakati PARA PIHAK serta pedoman pemberian layanan yang berlaku seperti terdapat alur maupun kebijakan pelayanan yang menyebabkan kunjungan, pelayanan medis dan administrasi pasien tidak berjalan efektif dan efisien. Alasan lain yang diutarakan dalam surat tersebut adalah adanya ketidaksesuaian proses pemberian pelayanan dan sampai dengan saat ini belum sepenuhnya terselesaikan oleh Klinik Cerebellum.

Klinik Cerebellum merupakan fasilitas kesehatan yang menyediakan layanan terapi bagi anak-anak disabilitas khususnya dan penyandang disabilitas atau difabel pada umumnya. Saat ini, ada 302 anak difabel melakukan terapi, berupa terapi fisik, terapi okupasi dan terapi wicara—tidak termasuk anak-anak difabel yang diterapi tidak secara berkala. Bagi anak-anak dengan Autisme, Sindroma Down, ADHD, kesulitan mendengar, Cerebral Palsy, Paraplegia, maupun yang mengidap rubella sangat membutuhkan terapi berkelanjutan. Jika proses terapi terhenti, maka kemajuan-kemajuan dalam perkembangan kognitif, motorik, sensorik, dan mobilitasnya dapat menurun bahkan kembali ke kondisi awal.

Menurut Ishak Salim, pendiri Yayasan Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK), di Kota Makassar, hanya Klinik Cerebellum yang memiliki jumlah terapis terbanyak, yakni fisioterapis 27 orang, terapis okupasi 10 orang dan terapis wicara 6 orang. Sementara itu, dari 16 layanan kesehatan di Makassar hanya 5 layanan terapis tersedia dan jumlahnya hanya 1-2 terapis per fasilitas kesehatan. Hanya 5 layanan terapis di mana 4 di antaranya hanya punya terapis untuk Terapi Okupasi yakni 1-2 orang saja. Itupun sebagian kerja part-time.

Lebih lanjut, menurut Ishak, keputusan BPJS Kota Makassar yang tidak memperpanjang kerjasama ini dapat dikatakan berpotensi melanggar hak-hak disabilitas berdasarkan UU No. 19 Tahun 2011 tentang ratifikasi konvensi hak-hak disabilitas dan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, khususnya hak anak difabel untuk mendapatkan layanan kesehatan yang prima.

Berdasarkan ratifikasi konvensi tersebut, Pemerintah Indonesia mengakui hak anak difabel dan berkomitmen menjadikan kepentingan terbaik bagi anak menjadi pertimbangan utama dalam kebiijakan negara. Di dalam pasal 5 (ayat 3) diatur terkait hak anak difabel yakni: mendapatkan pelindungan khusus dari diskriminasi dst, mendapatkan perawatan dan pengasuhan, dalam pengambilan keputusan, perlakuan manusiawi, pemenuhan kebutuhan khusus, perlakuan sama dengan anak lain untuk mencapai integrasi sosial dan pengembangan individu, dan mendapatkan pendampingan sosial.

Di pasal 12 diatur hak kesehatan difabel yakni memperoleh informasi dan komunikasi akses dalam pelayanan kesehatan, memperoleh kesamaan dan kesempatan akses atas sumber daya di bidang kesehatan, memperoleh kesamaan dan kesempatan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau, memperoleh kesamaan dan kesempatan secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya, memperoleh alat bantu kesehatan berdasarkan kebutuhannya, memperoleh obat bermutu, pelindungan dari upaya percobaan medis, dan pelindungan dalam penelitian dan pengembangan kesehatan.

Sementara terkait pasal 21 tentang hak habilitasi dan rehabilitas, anak difabel berhak mendapatkan habilitasi dan rehabilitasi sejak dini dan secara inklusif sesuai dengan kebutuhan, bebas memilih bentuk rehabilitasi yang akan diikuti, dan mendapatkan habilitasi dan rehabilitasi yang tidak merendahkan martabat manusia.

Saat ini, upaya memperjuangkan hak-hak anak difabel maupun pasien difabel lainnya sedang diupayakan. Alita Karen Labobar dari Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan (YPMP) yang mendapatkan laporan pertama kalinya dari para orang tua anak difabel ini tentang kekhawatiran mereka setelah mengetahui adanya surat tersebut, menyatakan bahwa harus ada penundaan pemberlakuan keputusan tersebut.

“Mari setiap pihak terkait duduk sama-sama dulu,” ujar Kak Itha, sapaan akrabnya.
Itha sudah menghubungi dan menemui sejumlah pihak terkait. Bersama perempuan-perempuan yang merupakan pasien dan orang tua anak difabel serta sejumlah pengurus organisasi disabilitas, telah menemui pihak Klinik Cerebellum, anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional, Walikota Makassar dan termasuk menghubungi Kepala Cabang BPJS Kesehatan Kota Makassar, dr. Greisthy E. L. Borotoding serta sejumlah pihak terkait lainnya untuk menbicarakan urusan krusial ini.

Pasien dan orang tua anak difabel yang turut mendukung upaya mediasi atau advokasi ini mengharapkan agar keputusan ini segera ditinjau kembali. “Anak kami benar-benar merasakan manfaat dari terapi rutin dengan fasilitas BPJS Kesehatan ini,” kata salah satu orang tua anak difabel di sela-sela pertemuan dengan dr. Tono Rustiano, M.M anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional tadi malam di Makassar. Lebih lanjut, Ibu Tri atau akrab disapa Mama Afiah ini menyampakan rasa khawatirnya ketika anaknya dengan Sindroma Down terhenti terapinya. Jikapun akan diterapi, ia kembali membayangkan akan antri sejak subuh di salah satu Rumah Sakit rujukan dan baru bisa diterapi menjelang siang, seperti saat Afiah masih berusia balita.

Berdasarkan kondisi tersebut, kami dari Yayasan PerDIK (anggota FORMASI Disabilitas) bersama Jaringan Organisasi Disabilitas di Kota Makassar, seperti Komunitas Orang tua Anak Down Sindrome (KOADS), Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan (YPMP), Forum Keluarga Anak Spesial Indonesia (FORKESI) Sulsel dan Kota Makassar, Klub Belajar Sipatokkong, serta Puspa menyayangkan keputusan ini sebab akan merugikan pasien-pasien yang secara aktif menjalani terapi di Klinik Cerebellum. Anak-anak Difabel yang menjalani terapi di Klinik Cerebellum akan terlantar dan tidak mendapatkan perawatan maksimal.

Untuk itu, kami menyampaikan kepada pihak-pihak terkait, seperti pimpinan BPJS Kesehatan Kota Makassar, Direktur BPJS Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, Gubernur Sulawesi Selatan, Walikota Makassar, dan pihak terkait lainnya di tingkat nasional seperti Komnas HAM dan Komnas Disabilitas (KND), Dirut BPJS Kesehatan, Badan Pengawas BPJS Kesehatan, serta Kementerian Kesehatan untuk mempertimbangkan kembali keputusan ini dengan harapan proses layanan Kesehatan dan terapi bagi anak-anak difabel maupun pasien difabel lainnya dapat terus berlanjut di Klinik Cerebellum[].

Berikut di bawah ini tertulis pesan Rilis Media yang sudah disebarkan.

Rilis Media

Unduh dokumen Rilis Media


Sikap Jaringan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Gugat BPJS Paska Pemutusan Kerjasama BPJS Kesehatan dengan Klinik Cerebellum. Terhitung mulai 01 Januari 2023 BPJS Kesehatan Kota Makassar telah menghentikan kerjasama dengan Klinik Cerebellum sebagaimana yang tertulis dalam Surat Nomor 3.470/IX-01/1222 yang dikirimkan pada tanggal 23 Desember 2022. Surat tersebut
memuat dua poin alasan tidak memperpanjang kerjasama, yaitu :

  • Terdapat beberapa temuan ketidaksesuaian / pelanggaran komitmen dan kepatuhan kontrak kerjasama yang telah disepakati para pihak serta pedoman pemberian layanan yang berlaku tidak berjalan sebagaimana mestinya.
  • Ketidaksesuaian proses pemberian layanan dan sampai saat ini belum terselesaikan oleh pihak Klinik Cerebellum.

Bahwa terkait dengan putusan sebagaimana di atas maka kami perlu menyikapi beberapa hal sebagai berikut:

  1. Bahwa Klinik Cerebellum merupakan fasilitas kesehatan yang menyediakan layanan terapi bagi anak disabilitas dan saat ini ada 307 anak disabilitas yang melakukan terapi Fisioterapi, Okupasi Terapi maupun Terapi Wicara dan belum termasuk anak disabilitas yang melakukan terapi secara berkala. Bagi anak-anak dengan autisme, down syndrome, ADHD, Cerebrsl Palsy, kesulitan mendengar, paraplegia maupun yang mengidap rubella sangat membutuhkan terapi berkelanjutan dan jika proses terapi terhenti maka kemajuan dalam perkembangan kognitif, motorik, sensorik dan mobilitasnya dapat menurun bahkan kembali lagi ke
    kondisi awal;
  2. Bahwa saat ini di Kota Makasar, hanya Klinik Cerebellum yang memiliki jumlah terapis terbanyak, yakni fisioterapis 27 orang, terapis okupasi 10 orang dan terapis wicara 6 orang. Dari 15 layanan kesehatan yang merupakan mitra BPJS Kesehatan di Makassar, hanya 5 layanan kesehatan yang memiliki terapis dan jumlahnya hanya 2-4 orang dan itupun ada yang hanya kerja part time saja.;
  3. Bahwa dr. Greisthy Borotoding, kepala BPJS Kesehatan Cabang Makassar menjelaskan bahwa 15 layanan kesehatan memiliki pelayanan dan kompetensi yang sama seperti Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi, Fisioterapi, Terapi Wicara dan Okupasi Terapi dan memastikan semua pasien Klinik Cerebelum akan terfasilitasi dengan baik. Akan tetapi faktanya setelah 1 (satu) bulan paska berakhirnya perjanjian kerjasama tersebut, masih sangat banyak orang tua yang berproses dalam peralihan ke beberapa layanan tersebut justru melaporkan keluhan dan laporan kemunduran perkembangan anaknya,bahkan ada beberapa orang tua
    yang tidak melanjutkan layanan terapi anaknya. Meskipun dikatakan layanan pengganti memiliki layanan yang sama seperti yang disebutkan dr. Greisthy, namun dari sisi kualitas dan pemberian layanan serta fasilitas yang dirasakan jauh dari apa yang didapatkan oleh mereka di klinik sebelumnya. Belum lagi terkait akses dan akomodasi bagi penyandang disabilitas terutama anak-anak yang pastinya memerlukan perlakuan khusus. Hal ini yang mungkin tidak diketahui oleh dr. Greisthy yang hanya melihat dari sudut pandang ketersediaan layanan dan tenaga Kesehatan;
  4. Bahwa Perda Kota Makassar no 6 tahun 2013 yang mengatur pemenuhan hak penyandang disabilitas dan juga Perda Prov. Sulsel nomor 5 tahun 2016 tentang perlindungan pelayanan bagi penyandang disabilitas, telah mengatur dengan sangat jelas layanan kepada penyandang disabilitas haruslah memperhatikan prinsip kemudahan, kenyamanan, kecepatan, berkualitas dan rasa empati. Prinsipprinsip dasar kemanusiaan untuk layanan kepada penyandang disabilitas terutama anak dengan berbagai hambatannya yang cenderung diabaikan oleh dr. Greisthy ketika tanpa persiapan langsung mengalihkan terapi 307 anak disabilitas ke layanan kesehatan lainnya yang sebelum adanya tambahan pasien dari klinik cerebelum pun sudah kewalahan memberikan layanan.;
  5. Bahwa ketika sebuah tempat layanan terapi sudah memberikan pelayanan prima dan tingkat kepuasan sudah sangat tinggi dan segala alasan pemutusan kerjasama sudah terpenuhi dengan baik, maka secara logis sudah semestinya menjadi
    pertimbangan utama BPJS Kesehatan untuk menyambung kembali kerjasama yang sempat terhenti, bukan malah memaksakan mengalihkan pada layanan kesehatan yang masih belum siap untuk memberikan pelayanan yang sama.

Demikian rilis ini kami buat untuk diedarkan, sekaligus menjadi sikap resmi dari kami
Jaringan OMS Gugat BPJS .
Makassar, 02 Februari 2023
Jaringan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Gugat BPJS

  1. Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan (YPMP) Sulsel
  2. FIK Ornop (Forum Informasi dan Komunikasi Organisasi Non Pemerintah) Sulsel
  3. Yayasan Kajian Pemberdaya Masyarakat (YKPM) Sulsel
  4. Lembaga Pemerhati Anak (LPA) Makassar
  5. Yayasan Swadaya Mitra Bangsa (Yasmib) Sulawesi
  6. Yayasan Lembaga Konsumen (YLK) Sulsel
  7. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar
  8. Lembaga Bantuan Hukum (LBH Makassar)
  9. Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (Perdik) Sulsel
  10. Formasi Disabilitas Sulsel
  11. Trust TV
  12. .dst.