Oleh M. Joni Yulianto, Ishak Salim, dan Lia Marpaung

Upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak difabel telah menjadi bagian pergerakan sosial sejak berpuluh dekade lalu, utamanya di belahan dunia Utara. Berawal dari perlawanan atas dominasi model medik disabilitas—atau dikenal sebagai model individual—menjadi model sosial (social model of disability), hingga akhirnya ada pengakuan atas harkat, martabat dan hak difabel sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia. Puncak pengakuan tersebut adalah diterbitkannya Konvensi Internasional tentang hak-hak difabel atau dikenal sebagai ‘The Convention on the Rights of Persons with Disabilities’ (CRPD).[1]

Sebagai instrumen HAM, CRPD secara tegas mendudukkan isu difabel sebagai isu hak dan mengharuskan negara dan siapapun menempatkan difabel sebagai subyek setara dengan yang lain. Sebagai instrumen yang mengikat secara hukum bagi negara-negara yang meratifikasinya, CRPD, dengan perangkat monitoringnya di PBB, wajib diimplementasikan setiap negara tersebut. Dalam perkembangan pelaksanaan dan kemajuannya, pemerintah wajib melaporkan secara berkala kepada PBB, yang dalam hal ini diwakili oleh komite CRPD.

Pengesahan konvensi CRPD dilakukan setelah Ad Hoc Commitee of General Assembly berhasil mengegolkan negosiasi rancangan konvensi yang berlangsung dari 2002 sampai 2006. Selanjutnya, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkannya pada 13 Desember 2006 di New York melalui Resolusi Nomor A/61/106 mengenai Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). 

Dalam amanatnya, negara-negara anggota perjanjian wajib melindungi, mempromosikan, dan menjamin pemenuhan hak-hak difabel. Mereka juga wajib memberikan kepastian kesetaraan diabel di depan hukum. Indonesia menjadi negara ke-9 dalam urutan 82 negara yang menandatangani UN-CRPD pada 30 Maret 2007. Hingga 2017, jumlahnya bertambah menjadi 175 negara anggota PBB yang menjadi negara pihak dari konvensi tersebut. Selain itu, Pemerintah Indonesia meratifikasi UN-CRPD pada 2011 melalui Undang-Undang No.19 Tahun 2011, disusul dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 mengenai Penyandang Disabilitas.

Pemerintah Indonesia membutuh waktu sembilan tahun untuk akhirnya menandatangani, meratifikasi, serta mengubah undang-undang organik mengenai disabilitas sebagai turunan atas CRPD. Undang-undang organik ini sekaligus mengubah ‘konsepsi kecacatan’ yang telah dipakai pemerintah sejak kemerdekaan menjadi ‘konsepsi disabilitas’.[2] Rentang waktu yang panjang ini menjadi bukti bahwa pengarusutamaan isu dan kepentingan difabel ke dalam kebijakan bukanlah sesuatu yang mudah diterima di lingkungan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Selain CRPD, Indonesia juga menaruh komitmen pada sejumlah instrumen global seperti ‘Tujuan Pembangunan Berkelanjutan’ (TPB) atau Sustainable Debelopment Goals (SDGs), serta New Urban Development Agenda, yang kesemuanya mempunyai keselarasan dalam mengarusutamakan hak dan kepentingan difabel. Sebagai konsekuensinya, Indonesia harus dengan rela memberikan update dan laporan kepada dunia global atas capaian dari berbagai instrumen global di atas.

Proses panjang ratifikasi CRPD, hingga lahirnya Undang-Undang Nomor 8/2016 Tentang Penyandang Disabilitas tidak lepas dari dorongan dan partisipasi penuh berbagai kelompok dan organisasi difabel[3] serta masyarakat sipil lainnya. Banyaknya kasus diskriminasi dan ketidaksetaraan atas dasar disabilitas telah menyatukan gerak individu, kelompok dan organisasi difabel untuk sama-sama mendorong tatanan kebijakan yang lebih adil, hingga kemudian lahirlah UU Penyandang Disabilitas 2016.

Setelah adanya UU Penyandang Disabilitas, kerja panjang negara adalah menurunkan norma hak asasi yang tercantum dalam CRPD dan UU Penyandang Disabilitas ke dalam aturan yang lebih teknis, penegakan aturannya, penerjemahan ke dalam strategi dan program pembangunan, hingga akhirnya kebijakan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak difabel hadir secara nyata dan dirasakan oleh masyarakat difabel di Indonesia.

Jika merujuk pada UU Penyandang Disabilitas, maka setidaknya peraturan-peraturan teknis yang dibutuhkan untuk mengoperasionalkan aturan ini diterbitkannya 15 Peraturan Pemerintah (PP). Tetapi, dalam proses pendiskusian, pemerintah kemudian meringkasnya menjadi hanya 7 PP. ‘Koalisi Organisasi-Organisasi Difabel’—di dalamnya termasuk juga ‘Kelompok Kerja Disabilitas’ sudah menyodorkan draft alternatif untuk setiap RPP kepada pemerintah. Draft tersebut mencakup:

  1. Rancangan PP (RPP) tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. 
  2. RPP tentang Akomodasi yang Layak Untuk Penyandang Disabilitas Dalam Proses Peradilan. 
  3. RPP tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas.
  4. RPP tentang Kesejahteraan Sosial, Habilitasi dan Rehabilitasi. 
  5. RPP tentang Pemenuhan Hak Atas Pemukiman, Pelayanan Publik. 
  6. RPP tentang Unit Layanan Disabilitas Ketenagakerjaan. 
  7. RPP tentang Konsesi dan Insentif Dalam Penghormatan, Perlindungan, Dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.

Hingga memasuki tahun 2020, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan tiga Peraturan Pemerintah: PP Nomor 52 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas, PP Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, Evaluasi terhadap Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas, dan PP Nomor 13 Tahum 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas, serta dua Peraturan Presiden terbaru, yakni Perpres Nomor 67 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Penghargaan dalam Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas dan Perpres Nomor 68 tahun 2020, yakni tentang Komisi Nasional Disabilitas (Juni 2020).

Selain menyusun pedoman pemenuhan hak-hak difabel melalui peraturan pemerintah dan turunannya seperti Peraturan Presiden, pada saat yang sama, diperlukan upaya sistematis untuk memantau perkembangan penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan hak-hak difabel secara berkelanjutan. Untuk dapat melakukan hal itu, diperlukan satu kerangka instrumen pemantauan menyeluruh dan dapat digunakan oleh pemerintah dan organisasi difabel maupun masyarakat sipil lainnya. Untuk itulah, instrumen indikator pemenuhan hak-hak Difabel berikut alat pemantauannya ini disusun, sebagai wujud kontribusi dalam mempercepat upaya pemantauan sistematis atas komitmen dan kinerja pemerintah dalam memenuhi hak-hak difabel.

Dengan adanya instrumen ini, diharapkan, baik pemerintah sebagai ‘duty bearer’—yang kini akan diperkuat lagi dengan terbentuknya Komisi Nasional Disabilitas (KND), maupun organisasi difabel sebagai institusi yang mewakili ‘rights holders’, dapat secara sistematis melakukan pemantauan atas kemajuan pemenuhan hak-hak difabel, dan dapat meningkatkan dialog konstruktif untuk kemajuan kebijakan perlindungan difabel dan implementasi atas pemenuhan hak difabel.

Proses Penyusunan Indikator Pemantauan

Dokumen indikator pemenuhan hak Difabel dan instrumen pemantauannya disusun melalui sejumlah proses dan tahapan yang melibatkan sejumlah Organisasi Difabel atau Organisasi Penyandang Disabilitas (OPDis) dan Organisasi Pemerhati Disabilitas, baik dari barisan Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) maupun Organisasi Pemerintah di sejumlah daerah. Awalnya, pada 2014, adalah perbincangan informal dari beberapa aktivis difabel mengenai pentingnya difabel mengetahui dan berkontribusi dalam pelaporan pemantauan pemenuhan hak-hak difabel di Indonesia. Kemudian, dari obrolan tersebut, berkembang juga pada perlunya difabel sekaligus mengetahui instrumen yang akan dipakai memantau—yang saat itu memang belum ada acuan yang siap dipakai. Saat itu, dengan instrumen yang belum baku, AIPJ (2014 – 2016) memfasilitas difabel, khususnya aktivis pergerakan disabilitas, melakukan aktivitas pelaporan pemantauan yang disebut pemantauan pemenuhan Hak Difabel yang menghasilkan laporan bayangan (shadow report) pemenuhan hak difabel di Indonesia.Jika diuraikan, proses kerja tersebut berjalan sebagai berikut:

Pertama, dilakukan pembacaan atas sejumlah instrumen global seperti UN-CRPD, SDGs, serta New Urban Development Agenda, serta instrumen kebijakaan nasional, khususnya UU No. 8/2016 Tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2015 Tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) oleh Tim Pilar Disabilitas program Kemitraan Australia-Indonesia untuk Keadilan (Australia-Indonesia Partnership for Justice II, AIPJ-2).

Pembacaan dokumen dilanjutkan dengan lokakarya dan konsultasi bersama organisasi difabel yang diinisiasi bersama oleh AIPJ2, Disability Rights Fund (DRF), bekerjasama dengan Organisasi Harapan Nusantara (OHANA) dan Human Rights Working Group (HRWG) di Hotel Horison Yogyakarta, 14-16 Mei 2018. Berdasarkan pembacaan singkat tersebut, disadari bahwa CRPD merupakan instrumen yang paling menyeluruh dalam memberikan gambaran atas hak Difabel yang perlu diatur dan dipenuhi.

Atas Dasar kesimpulan tersebut, kemudian dilanjutkan dengan penyusunan rancangan awal indikator pemenuhan hak Difabel yang kemudian dikonsultasikan kembali bersama perwakilan Organisasi Difabel, serta Organisasi Masyarakat Sipil, dan pewakilan Pemerintah Indonesia.

Kedua, kami melaksanakan pertemuan konsultasi yang melibatkan perwakilan organisasi difabel, perwakilan organisasi masyarakat sipil, serta perwakilan Pemerintah Indonesia, yang diwakili oleh perwakilan dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham), serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), pada 26 – 27 Maret 2019. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh sekitar 35 organisasi Difabel dan Organisasi Masyarakat Sipil tersebut, diperoleh beberapa kesepakatan sebagai berikut:

Ketiga, Menindaklanjuti hasil kesepakatan tersebut, pada 28 – 30 Mei 2019, AIPJ2 memfasilitasi pertemuan kelompok kecil perwakilan organisasi penyandang disabilitas, dengan agenda utama menyempurnakan rancangan indikator pemenuhan hak difabel, serta menyusun daftar pertanyaan pemantauan. Rancangan yang dihasilkan dari pertemuan ini, kemudian disempurnakan oleh Tim disabilitas AIPJ2, yang dimulai sejak September 2019.

Selanjutnya, indikator pemenuhan hak Difabel berikut alat pemantauan yang telah disempurnakan dibaca kembali oleh perwakilan organisasi difabel untuk memperoleh masukan penyempurnaan sebelum nantinya diujicobakan untuk dilatihkan dan digunakan untuk melakukan pemantauan.

Keempat, Setelah instrumen pemantauan tersedia dan siap dilaksanakan, maka langkah-langkah selanjutnya ditetapkan, yakni:

  1. Penyusunan buku panduan dan uji coba instrumen monitoring
  2. Perekrutan dan pembentukan tim pemantau daerah yang terdiri dari Koordinator, Enumerator/Transkriptor, Fotografer, Koding, dan Analis.
  3. Pelatihan peneliti dan tenaga pengumpul data serta pengadaan perlengkapan monitoring: foto copy kuesioner, recorder, laptop, aplikasi koding, ATK, kamera, hard disk, dll (lihat boks 1)
  4. Proses pemantauan dan survei. Jenis Data: [1] Primer: Hasil wawancara, Foto; [2] Sekunder: Grey documents, Berita Media Massa dan Media Sosial. Metode: [1] Wawancara mendalam (Kelompok  informan), [2] Survei, [3] Desk Literatures, [4] Potret aksesibiltas infrastruktur
  5. Pengolahan data lapangan dan analisis. Analisis: [1] Analisa sektoral dan [2] analisa komparasi (pendekatan kritis dan twin-track)
  6. Penulisan laporan dan rekomendasi
  7. Pemaparan hasil pemantauan dan rencana selanjutnya, baik dalam bentuk policy brief, info grafis, public hearing—yang dilakukan secara online maupun offline, yang berisi, khususnya terkait [1] Rekomendasi untuk pemerintah; [2] Rekomendasi untuk DPOs.

Hasil pemantauan ini pada akhirnya akan berguna bagi multi-pihak yang ingin mengevaluasi kualitas layanan publik terkait pemenuhan hak difabel agar semakin optimal dan tepat sasaran. Selain itu, bagi organisasi difabel dan mitra pergerakannya, data hasil pemantauan akan menjadi dasar perumusan rencana advokasi dan pengorganisasian difabel selanjutnya berdasarkan mandat organisasi masing-masing. Peran ini merupakan bagian dari bentuk partisipasi aktif difabel dalam membangun kedaulatan difabel dan konstruksi masyarakat yang menjunjung martabat difabel sebagai warga negara setara baik dalam berbangsa maupun bernegara.

CRPD Sebagai Acuan Pemantauan

Instrumen pemantauan hak-hak difabel ini dikembangkan dengan mengacu pada substansi hak yang tercantum dalam CRPD. Pada awalnya, kami memeriksa UU No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan membandingkannya dengan materi UU No. 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai hak-hak penyandang disabilitas). Walaupun hasil perbandingan tidak menunjukkan perbedaan mendasar, namun untuk menjaga kosistensi dengan acuan dasar UU Penyandang Disabilitas, kami memilih menyiapkan indikator dari setiap pasal yang berisi hak-hak difabel dari Konvensi, UN-CRPD.

Untuk kepentingan pemantauan, kami, bersama mitra organisasi pergerakan difabel[4] menyusun instrumen monitoring serta panduan memantau kebijakan dan program terkait pemenuhan hak-hak difabel. Instrumen dan panduan monitoring ini merupakan pedoman bagi organisasi masyarakat sipil maupun organisasi pemerintah yang hendak mengumpulkan data maupun informasi terkait dinamika pemenuhan hak-hak difabel, baik skala nasional (kementerian), maupun daerah (Provinsi, kota dan kabupaten—bahkan desa).

Sebagai alat pemantauan, maka instrumen ini bersifat terbuka untuk dievaluasi dan diubah menjadi lebih mumpuni dalam menangkap realitas pemenuhan hak-hak difabel. Bisa jadi, instrumen monitoring ini akan cocok digunakan saat ini, namun tidak menutup kemungkinan saat pihak-pihak terkait baik inisiator maupun implementor pemantauan ini melakukan refleksi dan menyarankan sebuah perbaikan maka instrumen ini dapat diperbaiki. Perbaikan atas instrumen monitoring ini harus didasarkan kepada upaya meningkatkan kualitas pemantauan agar berdampak pula pada kualitas pemenuhan hak-hak difabel.

Saat ini, kami menuangkan 12 aspek dari instrumen pemantuan, yakni: [1] Ruang lingkup pemantauan, [2] Indikator pemantauan dan narasi indikator, [3] Objek dan subjek pemantauan, [4] Data Pemantauan, [5] Metode pemantauan, [6] Panduan pertanyaan dan kuesioner, [7] Pedoman wawancara dan tranksrip, [8] Pedoman input dan pengolahan data, [9] Metode analisis data, [10] Pelaporan dan [11] Publikasi[].   


[1] Istilah yang digunakan awalnya adalah difabel, yang secara literal bermakna orang yang memiliki kemampuan berbeda berdasarkan sejumlah keunikan personal  dan secara ideologis juga dimaknai sebagai identitas politik pergerakan disabilitas khas keindonesiaan. Namun, dikarenakan kepentingan harmonisasi peristilahan, maka istilah yang digunakan adalah perandang disabilitas. Dalam regulasi terkait disabilitas di Indonesia, istilah yudisial yang digunakan adalah penyandang disabilitas, yang merupakan pengganti dari istilah legal sebelumnya yang disebut penyandang cacat, sebagaimana tercantum dalam UU No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Istilah yang digunakan dalam final document sudah disesuaikan.

[2] Dalam pandangan WHO, disabilitas disebut sebagai “an evolving concept and that disability results from the interaction between persons with impairments and attitudinal and environmental barriers that hinders their full and effective participation in society on an equal basis with others.” Artinya, Disabilitas merupakan suatu konsep yang terus berkembang dan disabilitas merupakan hasil interaksi antara ‘orang-orang dengan impairment’ dan ‘sikap serta lingkungan yang menghambat partisipasi penuh dan efektif mereka’ di dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.”

[3] Menurut Purwanta (2004), terdapat 5 tipe Organisasi Disabilitas di Indonesia, yakni Organisasi berbasis kesamaan jenis kecacatan (atau jenis disabilitas, makna baru) yakni: organisasi penyantun penyandang cacat/disabilitas, federasi organisasi-organisasi kecacatan/disabilitas, organisasi payung bagi organisasi-organisasi kecacatan/disabilitas dan organisasi progresif—yang lebih inklusif—dalam hal ini salah satunya yang telah menggunakan istilah difabel.

[4] Mitra pergerakan difabel adalah organisasi-organisasi disabilitas (DPOs), organisasi-organisasi masyarakat sipil yang mandatnya terkait langsung atau bersinggungan dengan isu-isu disabilitas, dan organisasi pemerintah dari beragam sektor pembangunan serta organisasi-organisasi lainnya baik berlandaskan profesi maupun organisasi swasta yang mendukung program terkait hak-hak difabel. Dalam perjalanan selanjutnya, terbentuk satu Forum yang disebut Forum Masyarakat Pemantau Indonesia Inklusi- Disabilitas (atau disingkat Formasi Disabilitas)